Blogger Jateng

Jenis-jenis makna dalam ilmu semantic


BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Makna adalah unsur dari sebuah kata atau lebih tepatnya sebagai gejala-dalam-ujaran (utterance-internal-phenomenon). Maka dari itu, ada prinsip umum dalam semantic yang menyatakan bahwa kalau bentuk (maksudnya bentuk kata atau leksemnya) berbeda, maka makna pun ikut berbeda, meskipun barangkali perbedaanya itu hanya sedikit. Dari berbagai sumber kita dapati berbagai hasil istilah untuk menamakan jenis atau tipe makna. Pateda (1986), misalnya, secara alfabetis telah mendaftarkan adanya 25 jenis makna, yaitu makna afektif, makna denotatif, makna deskriptif, makna ekstensi, mkna emotif, makna gereflekter, makna idesional, makna intensi, makna gramatikal, makna kiasan, makna kognitif, makna kolokasi, makna konotatif, makna konseptual, makna konstruksi, makna leksikal, makna luas, makna pictorial, makna proposional, makna pusat, makna referensial, makna sempit, makna stilistika, dan makna tematis. Ada istilah yang berbeda untuk maksud yang sama atau hampir sama, tetapi ada pula istilah yang sama untuk maksud yang berbeda-beda. Sedangkan Leech (1976) yang karyanya banyak dikutip orang dalam studi semantic membedakan adanya tujuh tipe makna, yaitu makna konseptual, makna konotatif, makna stilistika, makna afektif, makna reflektif, makna kolokatif, makna tematik. Dengan catatan makna-makna tersebut masuk dalam kelompok yang lebih besar yaitu makna asosiatif.
            Sesungguhnya jenis atau tipe makna itu memang dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria atau sudut pandang. Berdasarkan jenis semantiknya dapat dibedakan antara makna leksikal dan makna gramatikal, berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya makna referensial dan makna nonreferensial, berdasarkan ada tdaknya nilai rasa pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya makna denotative dan makna konotatif, berdasarkan ketepatan maknanya  dikenal adanya makna kata dan makna istilah atau makna umum dan makna khusus. Lalu berdasarkan kriteria lain atau sudut pandang lain dapat disebutkan adanya makna-makna asosiatif, kolokatif, reflektif, idiomatic, dan sebagainya.

B. Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian makna leksikal dan gramatikal ?
2.      Apa pengertian makna referensial dan nonreferensial ?
3.      Apa pengertian makna denotatif dan konotatif ?
4.      Apa pengertian makna kata dan makna istilah ?
5.      Apa pengertian makna konsep dan makna asosiatif ?
6.      Apa pengertian makna idiomatical dan peribahasa ?
7.      Apa pengertian makna kias ?

C. Tujuan Pembuatan
1.      Mengetahui makna leksikal dan gramatikal.
2.      Mengetahui makna referensial dan nonreferensial.
3.      Mengetahui makna denotatif dan konotatif.
4.      Mengetahui makna kata dan makna istilah.
5.      Mengetahui makna konsep dan makna asosiatif.
6.      Mengetahui makna idiomatical dan peribahasa.
7.      Mengetahui makna kias.





BAB 2
ISI

a. Makna leksikal dan Makna Gramatikal
            Leksikal adalah bentuka adjektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon (vokabuler, kosakata, perbendaharaan kata). Satuan  dari leksikon adalah leksem , yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Makna lesikal bisa diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, bersifat kata atau bisa juga disebut makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan observasinya alat indra atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Umpamanya kata tikus  makna leksikalnya adalah sebangsa binatang pengerat yang dapat menyebabkan penyakit tifus. Makna kata ini jelas dalam kalimat Tikus itu mati diterkam kucing, atau dalam kalimat Panen kali ini gagal akibat hama tikus. Kata tikus pada kedua kalimat jelas merujuk kepada binatang tikus bukan kepada yang lain. Teapi dalam kalimat Yang menjadi tikus di gudang kami ternyata berkepala hitam bukanlah termasuk makna gramatikal karena tidak merujuk kepada binatang tikus melainkan kepada seorang manusia yang perbuatanya memang mirip dengan perbuatan tikus. Bagaimana dengan kata kepala pada frase kepala kantor dan kepala paku ? disini kata kepala itu tidak bermakna leksikal, sebab tidak merujuk pada referen yang sebenarnya. Disini kata kepala digunakan digunakan secara metaforis yakni mempersamakan atau memperbandingkan salah satu ciri makna kata kepala dengan yang ada pada kata kantor dan kata paku. Apakah semua kata dalam bahasa Indonesia bermakna leksikal ? tentu saja tidak. Kata-kata yang dalam gramatika disebut kata penuh (full wod) seperti kata meja, tidur, dan cantik memang memiliki makna leksikal, tetapi yang disebut tuga (function word) seperti kata dan, dalam serta karena tidak memiliki makna leksikal. Dalam gramatika kata-kata tersebut dianggap hanya memiliki tugas gramatikal.
            Makna gramatika adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika seperti proses afikasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi. Proses afikasi awalan ter- pada kata angkat dalam kalimat Batu seberat itu terangkat juga oleh adik melahirkan kata ‘dapat’ dan dalam kalimat ketika balok itu ditarik, papan itu terangkat ke atas melahirkan makna gramatika ‘tidak sengaja’. Kepastian maknanya baru baru diperoleh setelah berada dalam konteks kalimat atau satuan sintaksis lain. Oleh karena itu makna gramatika ini disebut juga makna kontekstual atau makna situasional, selain itu bisa disebut juga makna structural karena proses dan satuan -satuan gramatikal itu selalu berkenaaan dengan struktur ketatabahasaan. Untuk menyatakan ‘jamak’ bahasa Indonesia menggunakan proses reduplikasi seperti kata ‘buku’ yang bermakna ‘sebuah buku’ menjadi ‘buku-buku’ yang berarti ‘banyak buku’, dalam bahasa inggris mengunakan morfem (s) missal nya ‘book’ yang menjadi ‘books’ , kata ‘woman’ yang bermakna seorang wanita menjadi ‘women’ yang bermakna ‘banyak wanita’. Contoh lain kata menyedihkan, menakutkan, dan mengalahkan memiliki makna gramatikal yang sama yaitu ‘membuat jadi yang disebut kata dasarnya’, tetapi kata memenangkan dan menggalakan tidak bermakna gramatikal sebab bukan bermakna ‘membuat jadi menang’ dan ‘membuat di giat’ melainkan bermakna ‘memperoleh kemenangan’ dan ‘menggiatkan’. Dalam proses komposis atau penggabungan melahirkan kata gramatika seperti dalam kata sate ayam dan  sate Madura, dari kedua kata tersebut sama-sama sate tetapi berbeda makna yaitu ‘asal bahan’ dan ‘asal tempat’.

b. Makna Referensial dan Makna Nonreferensial
            Perbedaan makna referensial dan makna nonreferensial berdasarkan ada tidaknya referen dari kata-kata itu. Apabila kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu diluar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Kalau kata-kata itu tidak mempunyai referen, maka kata itu disebut kata bermakna nonreferensial. Kata-kata yang termasuk preposisi dan konjungsi, dan juga kata tugas lainya, tidak mempunyai referen, kata-kata tersebut hanya memiliki fungsi atau tugas.
Adanya kata-kata yang referenya tidak tetap dat berpindah rujukanya dari satu rujukan ke yang lain atau berubah ukurannya, contoh :
           
1. tadi dia duduk disini
            2. disini, di Indonesia, hal seperti itu sering terjadi
Pada kalimat pertama kata ‘disini’ menunjukan tepat tertentu yang sempit, mungkin sebuah bangku,atau hanya sepotong tempat kecil dari sebuah bangku. Pada kalimat kedua kata ‘disini’ merujuk pada daerah yang meliputi seluruh wilayah Indonesia.
            Bagaimana dengan referen kata ‘kaki’ misalnya pada frase kaki gunung dan kaki langit? Menurut Verhaar (1978) kata kaki pada frase itu diterapkan secara salah. Referen kata kaki tetap mengacu pada anggota tubuh manusia. Referen itu tidak berpindah dari manusia kepada gunung atau langit. Yang sebenarnya terjadi adalah kata kaki pada kedua frase tersebut digunakan secara metaforis, perbandingan. Kaki dari anggota tubuh manusia dengan bagian bawah dari gunung ata langit.

c. Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Perbedaan makna denotatif dan konotatif adalah pada ada atau tidak adanya “nilai rasa” (Slametmulyana, 1964) pada sebuah kata. Setiap kata mempunyai makna denotatif, tetapi tidak setiap kata meiliki makna konotatif. Sebuah kata dsebut mempunyai makna konotatif apabila memiliki “nilai rasa” baik positif maupun negatif,. Jika tidak memiliki rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi atau dapat disebut juga berkonotasi netral. Makna denotatif (serng diseut juga makna denotasional, makna konseptual, atau makna kognitif karena dilihat dari sudut yang lain) pada dasarnya sama dengan referensial sebab makna denotatif ini lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi. Jadi makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi factual objektif, maka makna denotatif disebut juga ‘makna sebenarnya’. Misalnya kata perempuan dan wanita mempunya denoasi yang sama, yaitu ‘manusia dewasa bukan laki-laki’. Walaupun kedua kata tersebut mempunyai denotasi yang sama namun mempunya rasa yang berbeda, ‘perempuan’ mempunyai rasa yang rendah sedangkan kata ‘wanita’ mempunya rasa yang tinggi. Perubahan rasa ini terjadi akibat pandangan masyarakat berdasarkan norma-norma atau nilai-nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Umpamanya kata wanita dan perempuan mengandung makna-makna sebagai berikut :
Wanita
perempuan
- Berpendidikan lebih
- Modern dalam segala hal (pakaian, sikap, dsb)
- Kurang berperasaan keibuan
- Malas ke dapur
- pendidikan kurang
- kurang modern dalam segala hal( pakaian, sikap, dsb)
- berperasaan keibuan
- rajin ke dapur

            Makna konotasi lebih ke arah yang negative, makna konotasi sebuah kata dapat berbeda dari satu kelompok masyarakat yang satu dengan kolompok masyarakat yang lain, sesuai dengan pandangan hidup dan norma-norma penilaian kolompok masyarakat tersebut. Umpamanya kata babi, di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas beragama islam, memilikasi konotasi negatif karena binatang babi menurut hokum islam adalah haram dan najis. Sebaliknya di daerah-daerah yang yang penduduknya mayoritas bukan islam, seperti di pulau bali atau pedalaman irian jaya, kata babi tidak berkonotasi negatif. Lain halnya kata laki dan bini dalam masyarakat melayu Jakarta tidak berkonotasi negative, tetapi dalam masyarakat intelek kini berkonotasi negatif. Adapun kata-kata dalam bahasa Indonesia yang digunakan untuk menggantikan kata-kata yang berkonotasi negative, seperti pramuniaga, tunanetra, tunawisma, buang air, dan sebagainya.

d. Makna Kata dan Makna Istilah
            Pembedaan adanya makna kata dan makna istilah berdasarkan ketepatan makna kata itu dalam penggunaanya secara umum dari secara khusus. Dalam penggunaan bahasa secara umum kadang kata-kata itu digunakan secara tidak cermat sehingga maknanya bersifat umum. Tetapi dalam penggunaanya secara khusus, dalam bidang kegiatan tertentu, kata-kata itu digunakan secara cermat sehingga maknanya pun tepat. Kata yang maknanya masih bersifat umum, maka istilah memiliki makna yang tetap dan pasti. Ketepatan dan kepastian makna istilah karena istilah itu hanya digunakan dalam bidang kegiatan atau keilmuan tertentu. Jadi, tanpa konteks kalimatnya pun makna istilah itu sudah pasti. Misalnya kata tahanan, makna kata tahanan masih bersifst umum, tetapi sebagai istilah misalnya istilah dalam bidang hukum makna kata tahana itu sudah pasti yaitu orang yang ditahan sehubungan dengan sutu perkara. Sebagai istilah dalam bidang kelistrikan kata tahanan itu bermakna ‘daya yang menahan arus listrik’. Contoh lain, kata akomodasi  sebagai istilah dalam bidang kepariwisataan mempunyai makna atau berkenaan dengan hal-hal yang berkaitan dengan fasilitas penginapan dan tempat makan. Sebagai istilah dalm bidang optik kata  akomodasi  itu bermakna ‘penyesuaian lensa dengan cahaya’. Namun karen frekuensi penggunaan kata akomodasi sebagai istilah bidang pariwisata lebih tinggi daripada dalam bidang optik, maka masyarakat umum lebih mengenal kata akomodasi sebagai istilah untuk bidang pariwisata.
            Makna kata sebagai istilah memang dibuat setepat mungkin untuk menghindari kesalahpahaman dalam bidang ilmu atau kegiatan tertentu. Dalam bidang kedokteran, misalnya kata tangan dan lengan digunakan sebagai istilah untuk pengertian yang berbeda. Tangan  adalah dari pergelangan sampai ke jari-jari, sedangkan lengan dari pergelangan sampai ke pangkal bahu. Sebaliknya dalam bahasa umum lengan dan tangan dianggap bersinonim, sama maknanya. Begitu juga dengan pasangan kata kaki dan tungkai, telinga dan kuping, yang dalam bahasa umum dianggap bersinonim, tetapi sebagai istilah kedokteran diperbedakan maknanya. Kaki adalah bagian dari mata kaki sampai ke ujung jari, sedangkan tungkai adalah bagian dari mata kaki sampai pangkal paha. Begitu juga telinga adalah bagian dalam dari alat pendengaran sedangkan kuping adalah bagian luarnya.

e. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
            Pembedaan makna konseptual dan makna asosiatif didasarkan padaada atau tidak adanya hubungan (asosiatif, refleksi) makna sebuahkata dengan makna kata yang lain. Secara garis besar Leech (1978) telah membedakan makna atas makna konseptual dan makna asosiatif.  Dalam makna asosiatif termasuk makna konotatif, stilistik, afektif, refleksi, dan kolokatif. Makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya, dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apa pun. Jadi, sebenarnya makna konseptual ini sama dengan makna referensial, makna leksikal, dan makna denotatif. Sedangkan makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan diluar bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan makna ‘suci’, atau ‘kesucian’, kata merah berasosiasi dengan makna ‘berani’, ata jga ‘dengan golongan komunis’,kata cendrawasih berasosiasi dengan makna kata ‘indah’. Makna asosisatif ini sesungguhnya sama dengan perlambangan yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan suatu konsep lain. Maka dengan demikian, dapat dikatakan melati digunakan sebagai perlambang ‘kesucian’, merah digunakan sebagai perlambang ‘keberanian’, dan srikandi digunakan sebagai perlambang ‘kepahlawanan wanita’. Karena makna asosiatifini berhubungan dengan nilai-nilai moral dan pandangan hidup yang berlaku dalam suatu masyarakat bhasa yang berarti juga berurusan dengan nilai rasa bahasa, maka ke dalam makna asosiatif ini termasuk uga makna konotatif seperti yang sudah dibicarkan diatas. Disamping itu ke dalamnya termasuk juga makna-makna lain sperti maknas stilistika, makna afektif, dan makna kolokatif (Leech 1978).

f. Makna Idiomatikal dan Peribahasa
            Untuk dapat memahami yang dimaksud dengan makna idiomatical, kiranya perlu diketahui dulu apa yang dimaksud dengan idiom. Yag dimaksud dengan idiom adalah satuan-satuan bahasa (bisa berupa kata, frase, maupun kalimat) yang maknanya tidak dapat ditebak atau diramalkan dari makna leksikal unsur-unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut. Umpamanya, menurut kaida gramatikal kata-kata kesedihan, ketakutan, keberanian, dan kebimbangan memiliki makna hal yang disebut bentuk dasarnya. Karena makna idiom ini tidak lagi berkaitan dengan makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsurnya, maka bentuk-bentuk idiom ini ada juga yang menyebutkan sebagai satuan-satuan leksikal tersendiri yang maknanya juga merupakan makna leksikal dari satuan tersebut. Menjual gigi adalah sebuah leksem dengan makna ‘tertawa keras-keras’. Membanting tulang sebuah leksem dengan makna ‘bekerja keras’, dan meja hijau adalah sebuah leksem dengan makna ‘pengadilan’. Makna idiomatical adalah makna sebuah satuan bahasa (entah kata, frasa, atau kalimat) yang “menyimpang” dari makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsur pembentukannya. Untuk mengetahui makna idiom sebuah kata (frasa atau kalimat) tidak ada jalan lain selain mencarinya di dalam kamus.
            Berbeda dengan idiom yang maknanya tidak dapat diramalkan, baik secara leksikal maupun gramatikal, makna peribahasa masih dapat diramalkan karena adanya asosiasi atau tautan antara makna leksikal dan gramatikal unsur-unsur pembentuk peribahasa itu dengan makna yang lain yang menjadi tautannya. Umpamanya hal dua orang yang selalu bertengkar ‘dikatakan dalam bentuk peribahasa bagai anjing dengan kucing’. Kucing dan anjing di dalam sejarah kehidupan kita memang merupakan dua ekor binatang yang tidak pernah rukun, entah apa sebabnya. Contoh lain ‘keadaan pengeluaran belanja lebih besar jumlahnya daripada pendapatan’ dikatakan dalam bentuk peribahasa besar pasak daripada tiang. Seharusnya pasak harus lebih kecil daripada tiang, jika pasak lebih besar, tentu tidak mungkin dapat dimasukkan pada lubang tembus yang ada pada tiang. Karena peribahasa ini bersifat memperbandingkan atau mengumpamakan, maka lazim juga disebut dengan nama perumpamaan. Kata-kata seperti bagai, bak, laksana, dan umpama lazim digunakan dalam peribahasa, memang banyak juga peribahasa yang tanpa menggunakan kata-kata tersebut, namun kesan peribahasanya itu tetap saja tampak. Misalnya tong kosong nyaring bunyinya¸ peribahasa tersebut bermakna ‘orang yang tiada berilmu biasanya banyak cakapnya’. Disini orang yang tiada berilmu itu diperbandingkan dengan tong yang kosong. Hanya tong yang kosong yang kalau dipukul akan berbunyi nyaring, tong yang berisi penuh tidak akan berbunyi nyaring. Sebaliknya orang pandai, orang yang banyak ilmunya biasanya pendiam, merunduk dan tidak pongah. Keadaan ini disebutkan dengan peribahasa yang berbunyi bagai padi, semakin berisi, semakin merunduk.


g. Makna Kias
            Dalam kehhidupan sehari-hari dan juga Kamus Besar Bahasa Indonesia susunan W.J.S Poerwadarminta ada digunakan istilah arti kiasan. Tampaknya penggunaan arti kiasan ini sebagai oposisi dari arti sebenarnya. oleh karena itu, semua bentuk bahasa (baik kata, frasa, maupun kalimat) yang tidak merujuk pada arti kata sebenarnya (arti leksikal, arti konseptual, atau arti denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Jadi bentuk-bentuk seperti puteri malam dalam artian ‘bulan’, raja siang dalam arti ‘matahari’, daki dunia dalam arti ‘harta, uang’ , membanting tulang dalam arti ‘bekerja keras’, semuanya mempunyai arti kiasan. Kita lihat antara bentuk ujaran makna yang diacu ada hubungan kiasan, perbandingan atau persamaan. Gadis cantik disamakan dengan ‘bunga’ , matahari yang menyinari bumi pada siang hari disamakan dengan raja dan sebagainya.

BAB 3
KESIMPULAN

            Semua kata, frasa, maupun kalimat mempunya makna yang berbeda-beda ataupun sama, tergantung bagaimana konteks atau situasi saat pengungkapanya maupun pengartian masyarakat yang dipengaruhi oleh budaya yang berbeda-beda. Maka kita sebagai masyrakat intelektual harus bisa memahami serta dapat memilah atau memilih penggunaan kata yang tepat dalam lingkungan social agar makna yang disampaikan sesuai dengan kehendak kita.